Kamis, 11 Februari 2010

keikhlasan 36 persen

oleh:ILHAM RAMADHANI SETIAWAN

Qadha dan qadar adalah salah satu rukun iman yang terpaksa kita hapal ketika SD (sekolah dasar) dulu untuk mendapat nilai bagus pada mata pelajaran agama. Kita mempercayai takdir hidup kita masing masing walau tidak mengetahuinya sehingga setiap peristiwa baik dan buruk kita anggap sebagai takdir baik dan takdir buruk. Kalau tengku (ustadz) di kampung kami mengatakan bahwa ketika manusia hendak dilahirkan kedunia telah ditetapkan terlebih dahulu oleh TUHAN garis hidupnya sebagai takdirnya, jadi apa dia kelak, kapan dan dengan siapa dia kawin sampai kepada kapan matinya. Entah betul atau tidak pendapat tersebut kemudian menjadi perdebatan seru sampai kami SMA (sekolah menengah atas), semisal kalau TUHAN sudah menentukan takdir manusia maka tuhanlah sesungguhnya yang menjadikan manusia baik atau jahat, kalau demikian kenapa TUHAN berfirman ‘aku tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum tersebut tidak berusaha merubah nasibnya’?, dan seterusnya… perdebatan tersebut tidak pernah selesai sampai hari ini, walau demikian saya tak bermaksud hendak membawa debat tersebut ketengah wacana ini. Lama mengendap di benak kami bahwa perjalanan hidup ini ibarat suatu garis lurus yang disebut takdir dengan panjang garis yang terukur dengan satu satuan umur sehingga pada jarak jarak tertentu dari titik nol ketika manusia lahir, sang manusia mengalami peristiwa peristiwa penting dalam hidupnya dan terus menjalani garis takdirnya secara linear.

Benarkah perjalanan hidup kita linear seperti yang kita duga? Kalau anda belajar atau kuliah pada fakultas kedokteran misalnya apakah pasti anda kelak menjadi dokter dan berprofesi sebagai dokter? Siapa sangka kemarin anda belajar hukum internasional lalu hari ini anda menjadi koki atau chef terkenal? Banyak orang mengatakan kita tidak tau apa yang akan terjadi besok. Sepertinya ada momen momen tertentu yang diakui sebagai “simpang jalan” dalam perjalan hidup yang merubah segalanya dari yang kita duga.

Kalau anda simak sebuah program televisi yang bertema “tolong” dimana diperlihatkan seseorang yang minta tolong kepada orang orang sekitarnya, kemudian banyak yang mengacuhkan sampai tiba pada seseorang yang benar benar ikhlas menolong. Kesemua adegan direkam tanpa rekayasa dan tanpa sepengetahuan sang penolong. Di akhir cerita si penolong diberikan hadiah berupa sejumlah uang tunai oleh program tersebut sebagai imbalan atas keikhlasannya dalam membantu orang kesusahan, lalu dengan rasa keterkejutan dan emosi yang meluap luap menerima rezeki yang sama sekali tidak pernah diduganya. Jika anda turut menyaksikan acara tersebut saya yakin nurani anda juga akan ikut tergugah untuk setuju memberikan hadiah kepada sang hero tadi sebagai ganjaran atas keikhlasannya. Jikalau manusia mampu mengexploitasi sisi kemanusiaan antar sesamanya untuk dipertontonkan lalu bagaimana dengan TUHAN yang maha pengasih memberikan anda rezeki atau jalan hidup yang jauh lebih baik dari apa yang bisa diberikan manusia dan dari apa yang sedang anda jalankan sekarang jikalau anda suka menolong? Syaratnya juga sama, IKHLAS! Ikhlas demi TUHAN! GURU saya yang sangat saya cintai mengajarkan menjadi ikhlas itu harus belajar, belajar ikhlas namanya. Yang namanya belajar itu harus dipaksa. Awalnya mungkin tidak iklhas tapi kalau sering sering mudah mudahan akhirnya bisa ikhlas beneran.

Kita mungkin curiga kenapa Michael Jackson menyumbangkan sebagian besar kekayaannya untuk kegiatan kegiatan amal dan mendonasi lebih dari 200 organisasi sosial di amerika sana, atau ford foundation dari perusahaan mobil terbesar dunia yang menyediakan beasiswa untuk mahasiswa berprestasi di seluruh dunia atau untuk ukuran lokal Indonesia, beasiswa Toyota lebih banyak dikenal karena selalu diluncurkan setiap tahun untuk siswa dan mahasiswa berprestasi. Dengar dengar Bill Gates si orang terkaya sejagat menyumbangkan 90% dari penghasilannya untuk kegiatan kegiatan sosial, penelitian aids dan lain lain. Terlepas dari apa keyakinan dan siapa tuhannya, kenapa mereka begitu dermawan? Sedikit bocoran yang saya dapatkan adalah mereka sangat mempercayai “charity (dermawan)” untuk mendapatkan apa yang mereka beri. Kalau mereka charity dengan uang maka mereka akan mendapatkan uang yang jauh berlipat dari hasil usahanya, atau apa saja yang tidak mereka duga. Kalau mereka memberi “waktu” maka mereka akan mendapat keluangan waktu yang sangat leluasa, kalau mereka memberi kemudahan urusan bagi orang susah maka merekapun mendapatkan kemudahan dalam segala urusan mereka dan seterusnya… Mereka begitu mempercayai TUHAN yang senantiasa memantulkan apa saja objek yang mereka donasikan dalam bilangan pangkat berlipat yang tak terduga. Dalam agama kita Bukankah ALLAH telah memberi sinyal “jika kau pandai bersyukur maka kutambah nikmatmu, jika engkau kufur maka azabku teramat pedih”. Simpang jalan sepertinya menjadi ‘kesempatan untuk memilih’ yang disediakan TUHAN untuk manusia, semacam fasilitas tambahan bagi penumpang VIP yang tidak terdapat di kelas ekonomi.

Hidup memang adalah takdir, namun bukanlah satu garis lurus yang linear. Banyak persimpangan persimpangan yang sesungguhnya telah dipersiapkan untuk menuju arah lebih baik atau sebaliknya. Tanpa kita sadari pilihan pilihan tersebut sesungguhnya kita sendirilah yang memilihnya, begitu banyak rambu rambu dan tanda persimpangan yang kita acuhkan. Seberapa besar kita bersedia membagi rezeki kita untuk TUHAN? Tidak hanya persembahan (sedekah) yang bersifat sporadis, melainkan juga termasuk seluruh penghasilan yang kita dapatkan yaitu zakat!

Nabi berpesan besarnya zakat penghasilan adalah 2,5% . Abang saya mengatakan ‘ah itu kan zakatnya anak anak!’ yang saya artikan sebagai zakatnya para pemula. GURU saya mengajarkan kalau engkau sudah mampu di 2,5% tingkatkanlah menjadi 10%, kalau sudah ikhlas di 10% tingkatkan menjadi 36% dan seterusnya. Saudara, tak usah pusing dengan angka 36, angka angka itu menunjukkan peringkat atau level. Lalu berapa angka yang maksimal?

Sesungguhnya kita semua berlatih menuju keikhlasan 100% seperti yang selalu kita ikrarkan dalam stiap tegak shalat kita dengan wajah menghadap …Inna shalati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, liLLAhi RABbil ‘alamin… (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk ALLAH tuhan seru sekalian alam…).

Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar